Gambar ini karya seorang
akhwat muslimah dengan nama pena Sarah El sisya
“Kue Kak.” binar matanya membuatku
tertegun. Wajahnya persis seperti tokoh
didalam film every child is
special. Gigi kelinci yang berjarak, rambut lurus yang beradu tepat
ditengah, serta perawakan kecil yang setiap melihatnya dapat meringis. Begiru kurus.
“Apa itu?” Aku menatapnya sedikit
memberikan antusias. Tak sampai sedetik. Gerakannya yang cekatan segera
menurunkan sebuah tempat yang terbuat dari plastik.
“Ini risoles seribu, pisang seribu, tapi
kalau ini seribu limaratus.” Ia memegang kue dadar gulung dengan penuh
semangat.
“Mau ini..” aku menunjuk kue risoles.
“Dua yah...” Aku Berseru antusias.
“Ok. “ Sahut Imran, mantap. Dipakainya
pelasik menutup utuh tangan kecilnya.
“Inih..” terimakasih
Kak.” Senyumnya sumringah. Rona kebahagiaan memenuhi wajah lugunya.
Imran, anak kecil yang seringkali
menjajakan jajanan kecil diujung gang kampus. Ia tak mengemis. Ia juga tak
mencuri. Hampir setiap hari bertemu dengannya meskupun tak selalu membeli
jajanannya. Aku selalu berusaha menyapanya. Menanyakan bagaimana keadaan Prnya
untuk esok hari. Atau sekedar menanyakan bagaimana keadaan keluarganya. Imran
adalah anak lelaki yang selalu ceria. Aku tau, untung dari menjajakan kue
selepas sekolah itu tak seberapa. Satu kue mungkin berkisar dua ratus atau lima
ratus rupiah paling banyak. Entahlah, sepertinya bibt sabar telah melekat erat
dalam sanubarinya.
Saban hari aku sengaja
menyisihkan sedikit uang jajan untuk dapat diberikan pada Imran.
“Ini, untuk hari ini
saja. Jangan mengambil botol bekas. Segera pulang, belajarlah. Besok UTS kan?”
aku menatap wajahnya yang keheranan. Pekan ini adalah pekan Ujian tengah
semester untuk anak Sekolah Dasar. Kudapati informasi seusai penelitian
disekolah.
“Tak perlu mengasihani, belilah...Beli
apa yang kami jajakan. Itu sudah cukup memberi kami harapan.” Ungkap Imran.
Penuh kesungguhan. Tanpa menatapku. kalimat itu begitu saja keluar dari mulut
Imran, tidak dipikir panjang. Tidak juga
bermaksud mendebat. Lugu.
“Oh, yasudah,” kataku jengkel dan kecewa
berat. Mataku mulai berembun. Anak yang harusnya merasakan indahnya belajar dan
bermain tanpa memikirkan bagaimana harus mencari uang untuk keperluan
keluarganya. Ia dapat berkata seperti anak dewasa, membuatku mulai mengerti bahwa
kesungguhan dan tanggungjawab itu tidak dapat tergantikan dengan apapun.
Termasuk dengan uang.
***
Hujan deras mengguyur bandung malam itu,
dari kejauhan seperti meihat sosok yang sangat ku kenal. Imran. Segera aku
mendekatinya. Ia tengah merinding kedinginan. Langkahnya tegas-tegas. Tangan
kanannya menggamit kuat karung yang penuh dengan botol plastik bekas hasil
pencariannya sejak sore. Tangan kirinya terpancang sebuah pengait dari besi yang
ia gunakan untuk mengambil botol plastik yang kemudian ia simpan dikarung yang
ia pikul.
“Hey belum pulang?” Aku memicingkan
pandangan. Hujan tak memberiku ruang untuk dapat memandang wajahnya dengan
nyaman.
“Belum teh. Inih masih banyak. Kalau malam biasanya banyak botol bekasnya.” Ujarnya, letihnya
tersamarkan oleh semangatnya yang lugu. Masih dengan senyuman yang sama.
Seperti hari-hari sebelumnya saat aku menyapanya.
“Besok sekolah?” Aku menjajari langkah
kecilnya yang cepat. Sesekali tangan kirinya mencomot botol bekas yang
bertebaran dijalan yang kami lewati.
“Iya.” Matanya berbinar-binar sambil
mengangguk ditimpali senyum.
“Bagaimana sekolahnya?” Suaraku seperti
bisikan lemah. Berlomba dengan hujan yang mulai berdebam lebat.
“Ya senang.” Senyum Imran lebih lebar
malah. dua sudut bibirnya yang seperti bibir perempuan; kecil, tipis, dan
kemerahan tertarik kesamping dengan sempurna. Berseru antusias
“Kenapa Imran mau melakukan ini?”
pertanyaan yang selama ini ingin kutanyakan. Namun selalu urung karena aku tak
ingin pembeli tak jadi membeli lantaran ia mengobrol denganku.
“Membantu Ibu dan untuk jajan
adik-adik...” Imran mengangkat wajahnya,
lebih tegas menatap. Cemerlang matanya terapit dua alis yang rapat.
“Ayah? Tanyaku, dengan pandangan menyelidik.
“Emm, Ayah bekerja dan sampai sekarang
entah kemana.” Tertegun melihat semangatnya yang menyala-nyala. Dibawah rintika
hujan. Bajunya kuyup, sebasah perasaaannya.
Aku menarik nafas yang mulai sesak.
“Belajar yang rajin, orang pintar akan
dimudahkan jalan untuk bahagia dan syurga.” Ungkapku. Seperti permintaan
menghidupkan mentari dimalam hari. Lebih tepatnya aku berkata pada diriku
sendiri. Kedua sudut mataku dirembesi air. Sedikitnya kaca mata yang kukenakan
menyamarkannya.
Imran mengangguk-angguk. berlagak paham.
Bibirnya seperti sedang mengeja senyum. Gurat wajahnya yang selalu
sumringah sekarang terlihat kuyu dan
pucat. Hujan dan letih yang mencengkeram tubuhnya sejak pagi telah menggerus
wajah lucunya.
“udah biasa kok
kak. Aku juga senang dapat membantu Ibu. Ujar Imran, seolah mengerti jalan
pikiranku. Kutangkap ketulusan diwajah beningnya.
“Ini tadi kakak
ada acara, dan ini ada makanan yang masih ada. Mau ya?” Meski ragu. Aku tetap
mengulurkan tangan. Menyuguhkan sebuah kotak sterofom yang berisikan makanan
siap santap. Jatah makananku seusai acara dikampus sore tadi.
“iyah, ini untuk
Imran.” Ujarku. Menegaskan.
Imran Berhenti
sejenak. Ragu ia menatapku. Seperti tengah memastikan. Kuambil tangannya.
Kebas. Dingin membuat tangannya sulit untuk digerakan.
“Ini bukan karna
kakak kasihan sama Imran. Ini hadiah kecil karena Imran tetap sekolah dan
mengerjakan PR meskipun capek harus berjualan dan mencari botol bekas selepas
sekolah.” Aku menyeka wajahnya yang tertutup butiran hujan.
“Terimakasih
Kak.” Senyumnya kembali hadir. Ia masukkan pada tas kecil yang turut basah
terkenan hujan. Aku Terpekur sejenak, mematung. melihatnya terhuyung dengan
beban berat dan cuaca yang buruk. Dingin yang menggigit sum-sum tulang.
Imran meninggalkanku dengan senyum. Ia melambaikan
tangan dan pengaitnya yang masih setia ia genggam.
Imran, tetaplah menjadi jentera. Agar
semangatku bertumbuh seiring dengan semangat yang Ia tularkan padaku..
_Untuk Imran (Nama yang disamarkan), yang selalu
mengingatkanku akan makna syukur dan kerja keras.