Pairidaeza _Paradise _Firdaus




Gelisah begitu akrab menggelayut manja pada raut keningmu
Pertanda sekelumit pelik mencengkeram erat, menyulitkan otot kecilmu untuk bekerja, menarik kencang kedua sudut bibirmu. Tersenyum.
Tak ada yang memisahkan denyut nadimu dan nadiku.
Rahim, dan bertumbuh disana. Diriku.
Berpeluh  harap, memamah segala rasa sakit memaknai hidup.
Kutulis namamu di jejak pada setiap gerimis
Agar engkau abadi dalam kenangan
Telah khatam kususuri punggung tangan lembutmu
Berlabuh, berteduh,
Untuk kemudian berpulang pada jarak paling jauh
Menggapai rapal do’a yang diikat kuat pada lisanmu,  pada sejumput harap untuk kehidupan yang mereka menyebutnya syurga, Ummi...

Bandung, 23-12-2013
00:30
With love ummi...





  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Kepak Sayap Harap









Tuhanku, ketika tiba waktuku
datangkanlah sepasang sayap itu kepadaku:
dalam aku yang paling senyum
dalam senyum yang paling baik
dalam baik yang paling sempurna
Tuhanku, setiap aku adalah milik-Mu
dan setiap milik-Mu akan kembali pada-Mu
————
Allahumma inni asaluka husnal khatimah. Begitulah doa agar Allah berkenan memberikan akhir yang baik di terminal pemberhentian hidup kita.






  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Love U More and More


 









  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Memupuk Bahagia, Bersamamu




 
Kelak jika kita berbagi hidup kita harus saling mengingatkan untuk tak pernah lupa bahagia. Pun mengingatkan bahwa bahagia itu teramat sulit didefinisikan.
Bagiku, juga bagimu. Membebani cinta dengan segala macam perhitungan logika akan membuat kita terbebani dan kita hanya akan mendapat ampas tanpa bisa menemukan esensinya.
Membicarakan cinta berarti membahas makhluk tak kasat mata yang bisa menjadi benalu atau mengurai menjadi abu. Tak ada satu jurnal ilmiah pun yang dapat membelah dan mencacah untuk menemukan bentuk aslinya. Jadi, untuk apa kita harus susah-susah?
ia memberi hanya karena ingin memberi. Menerima hanya karena harus menerima. Tak ada keterpaksaan, tak ada pamrih, dan tak ada perhitungan macam manapun.
Tetaplah kukuh berkata : "Aku tak butuh pendapat orang lain untuk tahu bahwa kau mengagumkan."
Menggenggam erat saat semua melepaskan. Hingga geliat semangatmu menjadi harapan.

Selamat berbahagia ya, Kamu! Kepada hatimu yang lapang, aku akan pulang. Akan. walau entah kapan. Entah pada siapa.
Hey..!! Sudah kubilang, Aku akan mencintaimu, lebih dari selamanya.












  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Jentera Imran




 

Gambar ini karya seorang akhwat muslimah dengan nama pena Sarah El sisya


“Kue Kak.” binar matanya membuatku tertegun. Wajahnya persis seperti tokoh  didalam film every child is special. Gigi kelinci yang berjarak, rambut lurus yang beradu tepat ditengah, serta perawakan kecil yang setiap melihatnya dapat meringis. Begiru kurus.
“Apa itu?” Aku menatapnya sedikit memberikan antusias. Tak sampai sedetik. Gerakannya yang cekatan segera menurunkan sebuah tempat yang terbuat dari plastik.
“Ini risoles seribu, pisang seribu, tapi kalau ini seribu limaratus.” Ia memegang kue dadar gulung dengan penuh semangat.
“Mau ini..” aku menunjuk kue risoles.
“Dua yah...”  Aku Berseru antusias.
“Ok. “ Sahut Imran, mantap. Dipakainya pelasik menutup utuh tangan kecilnya.
“Inih..” terimakasih Kak.” Senyumnya sumringah. Rona kebahagiaan memenuhi wajah lugunya.
Imran, anak kecil yang seringkali menjajakan jajanan kecil diujung gang kampus. Ia tak mengemis. Ia juga tak mencuri. Hampir setiap hari bertemu dengannya meskupun tak selalu membeli jajanannya. Aku selalu berusaha menyapanya. Menanyakan bagaimana keadaan Prnya untuk esok hari. Atau sekedar menanyakan bagaimana keadaan keluarganya. Imran adalah anak lelaki yang selalu ceria. Aku tau, untung dari menjajakan kue selepas sekolah itu tak seberapa. Satu kue mungkin berkisar dua ratus atau lima ratus rupiah paling banyak. Entahlah, sepertinya bibt sabar telah melekat erat dalam sanubarinya.
Saban hari aku sengaja menyisihkan sedikit uang jajan untuk dapat diberikan pada Imran.
“Ini, untuk hari ini saja. Jangan mengambil botol bekas. Segera pulang, belajarlah. Besok UTS kan?” aku menatap wajahnya yang keheranan. Pekan ini adalah pekan Ujian tengah semester untuk anak Sekolah Dasar. Kudapati informasi seusai penelitian disekolah.
“Tak perlu mengasihani, belilah...Beli apa yang kami jajakan. Itu sudah cukup memberi kami harapan.” Ungkap Imran. Penuh kesungguhan. Tanpa menatapku. kalimat itu begitu saja keluar dari mulut Imran,  tidak dipikir panjang. Tidak juga bermaksud mendebat. Lugu.
“Oh, yasudah,” kataku jengkel dan kecewa berat. Mataku mulai berembun. Anak yang harusnya merasakan indahnya belajar dan bermain tanpa memikirkan bagaimana harus mencari uang untuk keperluan keluarganya. Ia dapat berkata seperti anak dewasa, membuatku mulai mengerti bahwa kesungguhan dan tanggungjawab itu tidak dapat tergantikan dengan apapun. Termasuk dengan uang.
***
Hujan deras mengguyur bandung malam itu, dari kejauhan seperti meihat sosok yang sangat ku kenal. Imran. Segera aku mendekatinya. Ia tengah merinding kedinginan. Langkahnya tegas-tegas. Tangan kanannya menggamit kuat karung yang penuh dengan botol plastik bekas hasil pencariannya sejak sore. Tangan kirinya terpancang sebuah pengait dari besi yang ia gunakan untuk mengambil botol plastik yang kemudian ia simpan dikarung yang ia pikul.
“Hey belum pulang?” Aku memicingkan pandangan. Hujan tak memberiku ruang untuk dapat memandang wajahnya dengan nyaman.
 “Belum teh. Inih masih banyak. Kalau malam  biasanya banyak botol bekasnya.” Ujarnya, letihnya tersamarkan oleh semangatnya yang lugu. Masih dengan senyuman yang sama. Seperti hari-hari sebelumnya saat aku menyapanya.
“Besok sekolah?” Aku menjajari langkah kecilnya yang cepat. Sesekali tangan kirinya mencomot botol bekas yang bertebaran dijalan yang kami lewati.
“Iya.” Matanya berbinar-binar sambil mengangguk ditimpali senyum.
“Bagaimana sekolahnya?” Suaraku seperti bisikan lemah. Berlomba dengan hujan yang mulai berdebam lebat.
“Ya senang.” Senyum Imran lebih lebar malah. dua sudut bibirnya yang seperti bibir perempuan; kecil, tipis, dan kemerahan tertarik kesamping dengan sempurna. Berseru antusias
“Kenapa Imran mau melakukan ini?” pertanyaan yang selama ini ingin kutanyakan. Namun selalu urung karena aku tak ingin pembeli tak jadi membeli lantaran ia mengobrol denganku.
“Membantu Ibu dan untuk jajan adik-adik...”  Imran mengangkat wajahnya, lebih tegas menatap. Cemerlang matanya terapit dua alis yang rapat.
“Ayah? Tanyaku,  dengan pandangan menyelidik.
“Emm, Ayah bekerja dan sampai sekarang entah kemana.” Tertegun melihat semangatnya yang menyala-nyala. Dibawah rintika hujan. Bajunya kuyup, sebasah perasaaannya.
Aku menarik nafas yang mulai sesak.
“Belajar yang rajin, orang pintar akan dimudahkan jalan untuk bahagia dan syurga.” Ungkapku. Seperti permintaan menghidupkan mentari dimalam hari. Lebih tepatnya aku berkata pada diriku sendiri. Kedua sudut mataku dirembesi air. Sedikitnya kaca mata yang kukenakan menyamarkannya.
Imran mengangguk-angguk. berlagak paham. Bibirnya seperti sedang mengeja senyum. Gurat wajahnya yang selalu sumringah  sekarang terlihat kuyu dan pucat. Hujan dan letih yang mencengkeram tubuhnya sejak pagi telah menggerus wajah lucunya.
“udah biasa kok kak. Aku juga senang dapat membantu Ibu. Ujar Imran, seolah mengerti jalan pikiranku. Kutangkap ketulusan diwajah beningnya.
“Ini tadi kakak ada acara, dan ini ada makanan yang masih ada. Mau ya?” Meski ragu. Aku tetap mengulurkan tangan. Menyuguhkan sebuah kotak sterofom yang berisikan makanan siap santap. Jatah makananku seusai acara dikampus sore tadi.
“iyah, ini untuk Imran.” Ujarku. Menegaskan.
Imran Berhenti sejenak. Ragu ia menatapku. Seperti tengah memastikan. Kuambil tangannya. Kebas. Dingin membuat tangannya sulit untuk digerakan.
“Ini bukan karna kakak kasihan sama Imran. Ini hadiah kecil karena Imran tetap sekolah dan mengerjakan PR meskipun capek harus berjualan dan mencari botol bekas selepas sekolah.” Aku menyeka wajahnya yang tertutup butiran hujan.
“Terimakasih Kak.” Senyumnya kembali hadir. Ia masukkan pada tas kecil yang turut basah terkenan hujan. Aku Terpekur sejenak, mematung. melihatnya terhuyung dengan beban berat dan cuaca yang buruk. Dingin yang menggigit sum-sum tulang.
Imran meninggalkanku dengan senyum. Ia melambaikan tangan dan pengaitnya yang masih setia ia genggam.
Imran, tetaplah menjadi jentera. Agar semangatku bertumbuh seiring dengan semangat yang Ia tularkan padaku..


_Untuk Imran (Nama yang disamarkan), yang selalu mengingatkanku akan makna syukur dan kerja keras.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Copyright 2009 Pelangi Rizqi
Free WordPress Themes designed by EZwpthemes
Converted by Theme Craft
Powered by Blogger Templates