29 Oktober 2013 pukul 19:51
Dear Karel,
Jika
kamu membaca surat-surat ini kelak, entah di bilangan berapa usiamu
menginjak, surat ini hanyalah salah satu cara abi untuk mengenalkan
umi-mu, Sayang. Bukan karena umi-mu perempuan terbaik, masih banyak
jutaan perempuan di luar sana yang jauh lebih baik daripada umi-mu. Tapi
agar kamu bisa selalu berbakti padanya Karel, walaupun tidak bisa
secara langsung, setidaknya dengan meneladani kebaikan-kebaikannya,
dengan berusaha sebisa mungkin untuk menjadi anak yang baik lagi sholeh,
Sayang. Karena tak ada cara terbaik untuk mengajari seseorang, kecuali
dengan keteladanan. Umi-mu tahu persis itu.
Kamu harus tahu,
kalau umi-mu itu sayang sekali kepadamu, Karel. Kurang lebih tiga bulan
umi-mu sangat harap-harap cemas menanti kehadiranmu, Sayang. Betapa dia
sangat bahagia ketika mengetahui kalau dirinya hamil, mengandung kamu
dalam perutnya. Sungguh, abi belum pernah melihat umi-mu sebahagia itu
sebelumnya. Dan sejak kamu ada dalam perutnya, kamu selalu menjadi
prioritas pertama baginya. Semuanya demi kamu. Makanan yang dimakan,
buku yang dibaca, olahraga yang dilakukan, obrolan-obrolan yang
dibiciarakan, kegiatan yang dijalani; semuanya menyesuaikan dengan kamu,
Sayang. Bahkan setelah melahirkan kamu, umi-mu berencana untuk resign
dari pekerjaannya, fokus untuk mengasuh dan membersamai kamu, tak
terlalu peduli dengan karier yang sudah dijalaninya. Kamu selalu lebih
berharga dari apapun bagi umi-mu, Sholeh.
Sewaktu
kecil, umi-mu merasa kurang kasih sayang orang tua, Karel. Dan dia
tidak ingin kamu mengalaminya, Sayang. Kedua orangtuanya bekerja, umi-mu
dibesarkan oleh pengasuh. Karena kurang perhatian, umi-mu nakal sekali
sewaktu kecil, Karena nakalnya itulah mungkin kakekmu memasukkannya ke
pesantren. Tempat yang pada akhirnya banyak mengubah hidupnya. Dan kamu
tahu, apa yang dilakukan umi-mu karena kurang kasih sayang tersebut,
Nak? Dia membalasnya dengan memberikan kasih sayang yang luar biasanya
besarnya kepada orangtua dan keluarganya. Sehingga menjadi orang yang
paling disayangi siapapun dalam keluarganya.
Nah, Karel,
dengarkan baik-baik, abi akan bercerita tentang salah satu bagian paling
menyesakkan dalam surat-surat ini. Bagian ketika kamu ada dan umi-mu
tiada. Skenario indah yang Allah berikan kepada keluarga kecil kita,
umi-mu pada khususnya.
***
Setelah panjang lebar
berdiskusi, akhirnya kami memutuskan untuk melahirkanmu di Cilegon,
Sayang. Tempat orangtua abi. Itu yang paling memungkinkan. Di Bogor
tidak ada saudara yang membantu. Di Sukabumi, hanya ada kakak umi-mu
beserta keluarganya. Umi-mu tidak ingin merepotkan mereka. Selain itu
juga umi-mi ingin lebih dekat dengan keluarga abi, ingin berbakti pada
orangtua kami yang masih ada. Dan dia berhasil. Hanya sebulan umi-mu
berada di rumah keluarga abi di Cilegon, tapi sudah menjadi kesayangan
orang serumah, termasuk tetangga-tetangga sekitar.
Sebulan
sebelum kelahiranmu, umimu ‘mengungsi’ ke Cilegon untuk mempersiapkan
proses kelahiran kamu dengan membawa sebagian perlengkapan bayi yang
sudah dibeli sebelumnya di Bogor. Bahkan umi-mu sudah belanja
keperluanmu sampai usia-mu enam bulan, Karel. Waktu itu, entah kenapa,
tumben-tumben umi-mu semangat sekali untuk belanja, sekalian katanya,
biar enggak bolak-balik. Sebelumnya, di Cilegon kami sudah survey ke
rumah sakit, bidan, dokter yang sekiranya umimu bisa melahirkan dengan
baik dan nyaman.
Umimu orang yang berpendidikan tinggi, Karel.
Tentu dia tidak sembarangan memilih tempat untuk melahirkan kamu.
Apalagi, kamu adalah orang paling berharga dalam hidupnya. Biaya pun
harusnya tidak masalah. Umi-mu sudah menganggarkan biaya operasi caesar
sampai aqiqah kamu. Bahkan sudah mulai menabung untuk biaya pendidikanmu
kelak, Sayang. Waktu itu, atas rekomendasi salah seorang teman yang
domisili di Cilegon, kami memilih bidan ternama di Cilegon, yang
kebetulan bersebelahan juga dengan rumah sakit bersalin. Khawatir ada
kemungkinan melahirkan caesar. Suatu hari, ibunya abi (nenekmu)
bercerita tentang bidan dekat rumah yang biasa menangani kelahiran, dan
katanya baik sekali orangnya.
Entah kenapa, waktu itu, umi-mu
memaksa abi untuk survey ke bidan tersebut, sekedar ingin tahu aja
katanya, deket ini. Dan dengan semangatnya, setelah umi-mu periksa, dia
bilang ingin melahirkan di situ saja. Belum pernah abi melihat umi-mu
sepuas itu ketika selesai periksa dari dokter atu bidan. Bidannya memang
supel dan bersahabat. Waktu itu abi masih ragu, terkait fasilitas yang
kurang lengkap. Tapi umi-mu masih ingin di situ, sambil meyakinkan;
nanti kan USG dan check up dulu, Bi. Kalau hasilnya medical kurang oke,
lahirannya di RS aja. Lima hari menjelang kelahiranmu, hasil medical
check-up keluar. Darah, Hb, dan sebagainya. Semuanya normal, dokter
membolehkan umi-mu untuk lahiran normal.
Hari yang
ditunggu-tunggu akhirnya datang, Kamis 17 Oktober 2013, menjadi hari
bersejarah bagi keluarga kecil kita, Sayang. Jam 4 pagi ketubanmu pecah,
langsung kami berangkat ke bidan dekat rumah. Pembukaan dua. Umi-mu
sempat solat, membersihkan diri, dan mandi sebelum melahirkanmu, Sayang.
Sampai akhirnya sekitar pukul 7 kamu lahir. Sangat lancar untuk ukuran
kelahiran bayi pertama. Umimu bahagia sekali, Karel. Belum pernah abi
melihat umimu sebahagia itu. Sambil umi-mu mendapatkan perawatan bidan,
kamu berbaring tengkurap, skin to skin dengan umi, sambil melakukan
Inisiasi Menyusui Dini (IMD). Abi adzan dan iqomat di telinga kamu.
Proses persalinan dan kelahiranmu selesai. Umi masih melakukan IMD waktu
itu, Sayang. Sambil tertawa bahagia bercanda dengan kamu umi sempat
berpesan kepadamu, yang ternyata itu adalah pesan terakhir umi kepada
kamu, Karel: Yang sabar ya, Nak. Yang kuat.
Di saat itulah,
sesaat setelah kamu mendapatkan ASI pertamamu (colustrum) nenekmu
melihat ada darah yang mengalir dari rahim umi-mu. Umi-mu tidak
merasakannya. Nenek langsung memanggil bidan untuk merawat dan menangani
umi-mu. Darah sudah banyak keluar, umi-mu langsung dilarikan ke RS,
mendapat perawatan tim dokter selama kurang lebih 45 menit, sampai
akhirnya tak tertolong lagi karena terlalu banyak kehilangan cairan dan
darah.
Karel, sungguh, tak ada yang lebih menyesakkan selain
mendampingi sakratul maut orang yang paling kamu sayangi. Umi-mu sudah
tidak bisa melihat apa-apa waktu itu, Sayang. Tapi masih bisa bicara dan
mendengar. Di sela-sela dzikirnya, (umi-mi berdzikir untuk mengatasi
rasa sakitnya, Sayang) tanganya meraba wajah abi, mukanya tenang sekali
waktu itu, Sayang. Bahagia sekali. Bibirnya sempat menyunggingkan senyum
setelah mengatakan kata-kata terakhir kepada abi. Kamu tahu apa
kata-kata terakhir yang dikatakan umi-mu, Sholeh? Umi-mu hanya
mengatakan satu kalimat; Maafkan umi ya, Abi! Setelah itu umimu
memanggil “mama, mama” seeolah almarhumah nenekmu ada di depan matanya.
Lalu yang terdengar hanya nafas umi yang terengah-engah.
Karel,
abi sempat menyalahkan diri sendiri, menyesali apa yang sudah terjadi.
Kenapa dulu abi tidak menolak ketika diajak umi untuk survey ke bidan
tempat kamu dilahirkan, kenapa abi tidak memaksa umi-mu untuk caesar
saja. Dalam penyesalan itulah, saat sebagian orang menyalahkan, saat
sebagian yang lainnya bertanya menyebalkan; kenapa umimu bisa meninggal,
kenapa lahirannya tidak di RS saja, dan kenapa-kenapa yang lainnya,
secara tidak sengaja, abi membaca update status terakhir umi di salah
satu akun media sosial miliknya, status yang sepertinya sudah umi
siapkan untuk abi. Status yang membuat abi jauh lebih tenang.
“Sungguh
kelahiran, kematian, rizqi, dan jodoh itu sudah Allah tentukan sejak di
lauhul mahfudz, tak ada yang bisa mengubahnya kecuali Allah.”
Karel,
Sayang, Sholeh, Pinter, jangan pernah sedikitpun berfikir kalau kamu
adalah penyebab kematian umi-mu, Nak. Jangan sekalipun kecewa dan
menyesali kehendak Allah atas kehidupan kita. Cara terbaik untuk
menyikapi kehendak Allah adalah dengan menerimanya. Karena hanya dengan
menerima, kita akan mendapatkan ganti yang lebih baik. Entah dalam
bentuk apa dan bagaimana yang lebih baik itu. Karena sebagaimana Allah
menyayangi umi dengan begitu cepat memanggilnya, Allah juga tentu akan
menyayangi kita. Hanya caranya saja yang mungkin berbeda. Hanya
bagaimana sajanya yang belum kita tahu.
… bersambung