Letters to Karel #2


28 Oktober 2013 pukul 17:06
Dear Karel,   

Apa yang sebenarnya diajarkan umi-mu sebulan terakhir sebelum kelahiranmu, Sayang? Sampai membuat kamu, seorang bayi baru lahir yang kehilangan ibunya nampak sangat kuat dan jarang sekali menangis? Sampai hari ini, hari kesebelas kamu ada, sekaligus jumlah hari yang sama umi-mu tiada, belum pernah sekalipun abi dapati kamu menangis lebih dari satu menit, Sholeh. Kamu hanya menangis ketika minta minum ASI, minta digendong, dan minta diganti popok jika sudah basah. Bahkan sepertinya, menangis adalah caramu yang terakhir, jika orang di sekitarmu tak mengerti maumu apa. Sebelumnya, pasti kamu sudah berusaha dengan menggerkan bagian tubuh kamu, menggerakan kaki jika minta diganti pokok, menggerkan mulut dan kepala jika haus, atau menggerakan tangan dan kaki jika ingin digendong. Bahkan di malam hari-pun, biasanya kamu hanya bangun sekali, menagis sebentar untuk membangunkan, lalu tidur lagi setelah diganti popok dan minum susu. Lantas bangun lagi menjelang subuh, di sepertiga malam terakhir, kebiasaan kamu dan umi-mu dulu. Persis umi-mu sekali, Sholeh. Yang sangat anti merepotkan orang lain, yang merasa berdosa jika membebani orang lain, yang merasa begitu bersalah jika tidak membantu kesulitan orang lain.

Kamu tahu, Karel? Bukan cuma kita yang merindukan umi. Di sudut Pasar Dramaga sana, pasar terdekat dari tempat tinggal kita dulu, pastilah segerombolan anak ‘kuli panggul’ yang biasa membawakan belanjaan ibu-ibu, sangat kehilangan umi kamu. Tak ada lagi yang setiap hari sabtu atau minggu ringan tangan memberikan mereka selembar lima ribuan atau sepuluh ribuan untuk barang yang tidak terlalu banyak dan jarak yang tak terlalu jauh. Biasanya, mereka hanya mendapat selembar uang ribuan untuk beban yang lebih besar. Abi pernah pernah bertanya; kenapa sih enggak minta tolong abi saja untuk bawa belanjaannya, kan tinggal telepon atau sms. Umi kamu hanya tersenyum sambil bilang; umi udah terlalu banyak merepotkaan abi, sekalian berbagi rezeki dengan anak-anak.

Abi tak tahu persis apa yang disampaikan umi-mu sebulan terakhir, Karel. Pelajaran seperti apa yang membuatmu begitu kuat. Karena sebulan terakhir sebelum kelahiranmu, kita berada di kota yang berbeda, hanya bertemu di akhir pekan. Kamu yang lebih banyak berbicara dengan umi kamu. Dan seperti biasa, pastilah umi-mu mengajarkan banyak hal melalui pembicaraan satu arah kalian. Pembicaraan seorang ibu dengan anaknya yang masih dalam kandungan. Pembicaraan yang tentu sangat berarti bagi kalian berdua.

Abi hanya ingat sepotong dialog melalui sms, ketika umi-mu terpaksa harus pulang dari studi-nya di Jerman karena mamanya (nenekmu) meninggal, Sholeh. Sepotong dialog yang ternyata begitu menguatkan abi setelah keprergian umi. Umi bilang; seseorang yang pergi meninggalkan kita, harusnya kita iringi dengan doa, bukan air mata. Karena doa-lah yang lebih banyak membantu orang tersebut di alam kubur sana. Sedangkan air mata, cenderung membuat kondisi jadi lebih buruk.

Apakah umi-mu tidak menangis atas kepergian nenekmu? Dia tetap menangis, Sayang. Sebagaimana manusia pada umumnya. Tapi tidak berlama-lama. Segera menysun rencana, melanjutkan hidup. Segera kembali lagi ke Jerman untuk menyelesaikan studinya, bahkan lulus dan pulang paling cepat daripada teman-teman seangkatannya. Melanjutkan baktinya terhadap orangtua dengan menyambung silaturahmi dengan keluarga dan sahabat-sahabat almarhumah nenekmu. Juga berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikan urusan nenekmu yang belum selesai setelah kepergiannya.

Setelah menikahi umi-mu, abi baru tahu betapa sayangnya umi-mu dengan mama-nya, betapa umi-mu menangis sepuas-puasnya untuk almarhumah mama-nya melalui doanya. Dan bilang waktu abi sindir, kalau dia sedang berdoa, bukan sedang menangis. Padahal jelas-jelas air matanya mengalir. Pernah di suatu akhir sepertiga malam, saat ritual sholat malam dan doa bersama keluarga kecil kita, waktu itu giliran umi-mu yang mengucapkan doa dan abi yang mengamini, di atas sajadah yang sama, dengan kepala umi-mu bersandar di dada abi, dengan tangan yang sama-sama terangkat, dengan tulusnya umi-mu berdoa agar bisa berkumpul dengan mama-nya di Syurga nanti. Agar mama-nya baik-baik saja dan hidup tenang di alam kubur sana.

Nah, Karel, camkan ini baik-baik, Nak; Tak ada cara terbaik untuk membalas kebaikan orangtua, selain dengan menjadi anak yang sholeh/ah. Karena anak yang soleh/ah akan selalu menjadi investasi orangtua sampai di akhirat nanti. Akan menjadi pahala yang terus mengalir bagi orangtuanya. Maka, tumbuhlah menjadi anak yang kuat, sabar, cerdas, lagi sholeh, Sayang. Jadilah kebanggaan abi dan umi di dunia dan akhirat nanti. Sebagaimana yang diinginkan umi-mu, sebagaima umi-mi menjalaninya ketika hidup.


bersambung…
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Letters to Karel #2"

Post a Comment

Copyright 2009 Pelangi Rizqi
Free WordPress Themes designed by EZwpthemes
Converted by Theme Craft
Powered by Blogger Templates