Sepenggal Fajar






Menapaki hidup adalah masa menetapkan pijakan hati. Senyum-tawa atau meneteskan airmata kudapati disetiap fasenya. Menjadi salah satu tanda bahwa ada jalan untuk lebih baik atau sebaliknya.
Pagi ini, selepas subuh melenggang pergi, aku mendapati suguhan pemandangan yang luar biasa. Seperti biasa, Seorang nenek yang tinggal disamping kostn berjalan tertatih menyeret kaki kanannya yang sedikit tak berfungsi. Baju daster dan kerudungnya selalu senada tersemat rapih dengan senyum dan sapaannya tak pernah urung hilang. Sudah satu tahun aku tinggal disamping rumahnya. Namun keenggananku untuk bersilaturahim menghalangiku untuk dapat mengenalnya. Ia selalu tersenyum dan aku hanya membalasnya dengan senyum. Bergegas pergi meninggalkannya. Jauh didasar hatiku ingin mengenalnya, layaknya membersamai ibuku yang telah tiada. ketakutan, kerinduan, dan ketakjuban diperas bersamaan.

“Pergi neng?” Bibirnya seperti sedang mengeja senyum . Mengusir kesenyapan
“Iya Bu..” ucapku. Ragu. Masih dengan takut-takut bergegas kembali mendahului jalannya setelah ia menyadari bahwa ada yang tengah menunggunya. Dengan sendirinya mempersilahkan untuk segera mendahuluinya.
Genap setahun sudah seringkali aku melihatnya berjalan selepas subuh pergi. Mendapatinya saat pergi menuju kampus atau bahkan saat membeli sesuatu diwarung sebelah.
Hingga pagi ini tak kudapati Nenek Murti. Entah mengapa terasa berbeda. Seusai kuliah segera aku bertanya pada tetangga disamping rumah kecilnya.
“Nenek sakit.” Ujarnya dengan wajah keheranan. Melihat seorang mahasiswa yang dengan wajah penuh cemas mencari nenek yang selalu sendiri itu.
 “Kalau boleh tau yang mana rumahnya? Lebih tepatnya kamarnya. Karena kontrakannya begitu kecil. Kamar tempat tidur, makan, dan masak dalam tempat yang sama.
“Paling pojok sebelah sana.” Ia menunjuk sebuah kamar yang paling ujung. Bahkan matahari enggan menjamahnya karena terhalang oleh kamar kontrakan yang lain.
“Assalamualaikum....” Aku mengetuk pintu . Berharap segera ada yang menyahut
Tak berapa lama terdengar sahutan.
Waalaikumsalam..ah suara itu. Aku menggigit bibir. Mengumpulkan seluruh keberanianku.
Terdengar pintu berderit. Engselnya seperti tengah berdemo meminta untuk diganti.
“eh neng. MasyaAllah ada apa? Nenek Murni masih sibuk merapihkan kerudung yang tengah dikenakannya. Senyap beberapa lama. Gurat wajahnya meski lembut sekarang terlihat kuyu dan pucat
“Nenek sakit?” Ujarku. Malu-malu.
Ah biasa neng. Penyakit orangtua. Tawanya getas. Cemerlang matanya terapit dua alis yang rapat menatapku yang tengah mematung.
“Ah masuk dulu sini,” Kulihat kesungguhan diwajah bengingnya.
“Gak usah nek, Inih...” Kusampirkan sebuah pelastik
“Apa ini?... Nenek sangat bersyukur masih ada yang perhatian sama nenek.” Ia tersenyum Sesaat sambil menitikkan air mata.
“Ah bukan apa-apa kok nek. Ujarku, sekenanya. Sambil nyengir kuda.
“Terimakasih yah, jangan ragu untuk menyapa dan silaturahim dengan nenek.” Katanya, sambil mengusap kepalaku. seolah mengerti jalan pikiranku
Aku hanya tersenyum. Kemudian bergegas pamit. Meremas waktu begitu pendek
Dan subuh kali ini, aku mendapat teguran kembali...

”Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit- penyakit (yang berada) dalam dada..." (QS. Yunus: 57)
***
Pagi ini, senyum telah bertengger diwajahku.
“Ke kampus neng?” nenek Murti menyapaku dengan senyum tulusnya.
“Iya nek. Doakan ya nek.” Ujarku.semangat. Setetes, dua tetes, air mataku kian menganak sungai. Aku melengos segera bergegas setelah sebelumnya menyalami nenek. Aku tak mau nenek mendapatiku tengah menangis. Nenek tak perlu tahu betapa aku bersyukur dapat menjumpainya. Menjadikannya ladang amal yang dapat kudapati dengan mudah dalam senyum dan do’anya.
Hari baru bertandang. Setiap kali bertemu dengannya. Selalu menyeretku pada kenangan-kenangan yang menyisakan kegetiran. Ibu...panggilan untuk nenekku yang telah tiada genap dua tahun lalu. Ibu selalu menantiku pulang. Meskipun sering mengecewakannya dengan tak membawa buah tangan yang menggembirakan. Ibu selalu menyambutku dengan senyuman yang tulus. Ibu bahkan menunggu kedatanganku saat kepergiannya untuk pulang kembali pada Rabbnya.
“Ibu selalu do’akan agar neng sukses di dunia dan akhirat ucapnya.” Kutangkap ketulusan Juga semangat yang menyala-nyala pada dirinya
Bu, takkan pernah aku bosan mendengarkan ceritamu meski kau selalu mengulangnya, karena kau selalu lupa dengan apa yang telah kau ceritakan. Bu, diusiaku yang sudah beranjak dewasa ini tak pernah mendapatimu memarahiku.
Bu, senantiasa selalu kusematkan do’a dalam setiap sadar dan diamku.. Agar syurga memelukmu, membersamaimu dalam kebahagiaan abadi..
Siluet berlatar belakang langit senja yang orange. Menutup hari indahku.
Hingga kudapati bahwa
menapaki hidup adalah membersamai kenangan-kenangan
untuk kaujadikan cahaya dalam hidupmu




                                                                                                          Bandung, 20 November 2013
                                                                      Untuk nenek yang mengingatkanku pada sayangnya Ibu...
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Sepenggal Fajar"

Post a Comment

Copyright 2009 Pelangi Rizqi
Free WordPress Themes designed by EZwpthemes
Converted by Theme Craft
Powered by Blogger Templates