Adventure Based Counseling

A.               PRAWACANA

Profesi bimbingan dan konseling belum begitu mapan jika dibandingkan dengan profesi lain, seperti dokter, pengacara, akuntan, dan sebagainya. Implikasinya adalah tuntutan terhadap profesi bimbingan dan konseling agar terus membenahi diri, baik pada tataran konseptual maupun segi praksisnya. Hal ini perlu dilakukan agar kepercayaan publik terhadap kiprah bimbingan dan konseling dalam berbagai adegan kehidupan makin meningkat dari waktu ke waktu. Muara dari semua ini adalah kokohnya eksistensi bimbingan dan konseling dan mampu sejajar dengan profesi lain karena ditopang oleh konselor yang professional dan apresiasi stakeholder yang proporsional.
      Jika dilacak sejarahnya, potret bimbingan dan konseling berubah dari masa ke masa. Sebagai contoh, populasi layanan bimbingan dan konseling tidak lagi terbatas pada adegan persekolah tetapi meluas sampai ke  luar sekolah, keluarga, industri dan bisnis, organisasi, rumah sakit, lembaga pemasyarakatan, dengan rentang perkembangan mulai dari kanak-kanak sampai lanjut usia, dari orang normal sampai yang berkebutuhan khusus. Kecenderungan pergeseran yang lebih luas tampak dalam kerangka kerja, peran dan fungsi konselor yang tergambar oleh reorientasi layanan konseling dari model klinis, psikologis, kuratif, tradisional-statis, pengelolaan amatiran, program terpisah, berpusat pada konselor, pola pikir reseptual, wawasan sempit-lokal menuju model pedagogis, pengembangan, preventif, inovatif-dinamis, pengelolaan professional, program terpadu, berpusat pada klien, pola pikir konseptual, dan wawasan luas/nasional (Ahman, 1995).
Meluasnya target layanan menuntut profesi bimbingan dan konseling untuk membenahi strategi layananya. Strategi layanan melalui pertemuan tatap muka tidak dapat lagi menjadi andalan karena berdampak terhadap produktivitas konselor. Artinya adalah modus layanan bimbingan dan konseling sudah saatnya memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, misalnya melalui web counseling, cybercounseling, e-mail therapy, virtual therapy, dan online therapy (semua substansi istilah ini bermakna sama). Dengan sikap kreatif, proaktif, dan teknologis konselor ketika memberikan layanan pada gilirannya dapat memperkuat identitas bimbingan dan konseling.
Satu fenomena umum pada remaja yang perlu dicermati konselor adalah kebiasaan mereka melakukan kemping bersama-sama untuk melepaskan kepenatan setelah selesai mengikuti ujian. Banyak ditemui di daerah pegunungan, di pinggir danau, dan di pantai  para  remaja melakukan kegiatan kemping. Bagi kelompok yang memiliki jiwa kewirausahaan, kegiatan ini dikelola sedemikian dengan menyediakan tempat khusus, instruktur yang berpengalaman, berbagai aktivitas menarik  dan tantangan yang mencerdaskan yang bernilai edukatif di samping dapat memberikan nilai tambah ekonomis bagi pengelolanya.
Fenomena ini sebaiknya ditangkap oleh konselor sehingga mampu mengembangkan kegiatan kemping yang dapat bernilai terapeutik di samping  untuk tujuan rekreasi melalui wadah ‘camp counseling’. Tulisan ini bermaksud memberikan gambaran singkat tentang camp counseling (pengertian,tipe, dan karakteristik campcounselor),  adventure therapy (pengertian dan aktivitas AT), dan secara khusus tentang adventure-based counseling (pengertian, tujuan, bentuk aktivitas, contoh kegiatan, karakteristik konselor, dan langkah-langkah).


B.               PEMBAHASAN

1. Pengertian Camp Counseling
Istilah ‘camping’  mengandung banyak arti tergantung pada keluasan dan hakikat pengalaman yang dikembangan di dalamnya. Kadang-kadang kemping diartikan sebagai kegiatan tidur di hutan, di taman, dan lokasi kamping yang disediakan secara khusus. Kamping juga diartikan sebagai perjalanan jauh ke daerah yang masih liar atau ke pedalaman yang lokasinya jauh dari perkampungan. Kemping berasoisasi dengan kesempatan untuk keluar dari kehidupan rutin dan memperoleh rekreasi  di daerah terbuka (Mitcheel & Meier, 1983).
Kemping merupakan kesempatan kepada individu  untuk melakukan improvisasi dan menemukan potensi diri, mengembangkan kualitas fisik, mental, spritual, dan sosial. Secara sosiologis, kemping merupakan media untuk meningkatkan kekeluargaan. Kemping yang dimaksud di sini adalah ‘organized camping’ yang berbeda dari ‘outdoor recreation’ atau kemping secara umum. Organized camping dianggap sebagai sebuah komunitas kebersamaan, programnya bermuatan pendidikan dan rekreasi di bawah supervisi tenaga khusus. Karakteristik  organized camping adalah (a) berfokus pada eksplorasi lingkungan dan settingnya  di daerah terbuka, (b) meliputi seluruh pengalaman hidup selama kemping, (c) diarahkan untuk menyelesaikan masalah keseharian, dan (d) dikelola oleh staf yang memiliki kemampuan khusus(Mitcheel & Meier, 1983).   .
2. Tipe Camps    
Organized camps umumnya diperuntukan bagi anak-anak yang berusia antara  6 sampai 16 tahun. Menurut  Mitcheel & Meier (1983), camps dapat diklasifikasikan  menjadi lima jenis, yaitu (a) resident or establish camps, (b) trip or travel camps, (c) day camps, (d) special camps, dan (d) school camps. Resident or establish camps,  pesertanya  tinggal untuk beberapa hari sampai tujuh minggu. Lokasi kemping biasanya jauh dari jalan utama dengan alasan untuk  melindungi privasi peserta atau agar terhindar dari gangguan orang lain. Bentuknya seperti ‘camps summer life’  yang ditunjang oleh berbagai fasilitas, seperti tempat makan, lokasi rekreasi, toko cenderamata, pusat kebugaran, musium, perpustakaan, fasilitas laundry, sarana olah raga, kantor, gudang, dan sebagainya.
Trip or Travel camps, sifatnya bergerak dari satu lokasi ke lokasi lain dengan cara  jalan kaki, menaiki kano, bersepeda, berkuda, dan berperahu. Karakteristik utama trip or travel camps adalah wilderness, pioneer atau survivalDay camps, peserta umumnya adalah anak-anak yang berangkat ke lokasi kemping pada  pagi hari dan pulang sore hari, durasinya selama 1-5 hari. Anak-anak berpartisipasi dalam berbagai kegiatan kemping, dan kadang-kadang makanan disiapkan dari rumah atau dimasak di lokasi. Lokasi kemping umumnya tidak jauh dari perkotaan atau menggunakan taman dan fasilitas rekreasi publik.
Special camps, diperuntukan bagi orang yang memiliki minat tertentu atau keterbatasan fisik , misalnya woodcraft, campcraft, aquatic, keterbelakangan mental, gangguan pendengaran, epilepsi, gangguan penyesuian sosial, gangguan jantung. Peserta  biasanya  adalah keluarga, orang dewasa atau lanjut usia. Outdoor education and school camping, tujuannya meningkatkan pengetahuan, sikap atau keterampilan hidup. School camping paling cocok untuk sekolah menengah dengan jumlah maksimal mencapai 30 orang. Kalau ukuran kelompok terlalu besar,  maka intimasi dan solidaritas  peserta kurang kuat. Setiap kelompok didampingi oleh guru mata pelajaran, konselor dan pakar tertentu.
3. Karateristik Camps Counselor
Bekerja sebagai camp counselor sangat menarik dan dapat memperkaya diri, walaupun sebenarnya pekerjaan tersebut cukup berat. Barangkali kesulitan terbesarnya adalah bagaimana menghadapi beragam perilaku anggota. Dalam banyak kasus, konselor hanya mengandalkan nalurinya ketika berhubungan dengan anak-anak. Camp counseling yang berkualitas menuntut konselor yang memahami proses dan prosedur camps, termasuk dinamika perilaku manusia dan perkembangan pribadi.
Menurut Mitcheel & Meier (1983) seorang the camp counselor  harus memiliki karakteristik sebagai berikut; (a) memiliki apresiasi dan suka berinteraksi dengan orang lain, (b) empati, (c) mampu menjadi model, (d) memiliki semangat muda, namun matang dalam menilai, (e) mencintai aktivitas di daerah terbuka, (f) memiliki keterampilam kemping, dan (g) memiliki daya tahan.
Menurut Kelly Hoell (2001) syarat untuk menjadi camp counselors adalah; (a) mampu bekerja selama 140 jam per minggu, dapat menangani anak yang tergigit binatang, terjatuh, terluka, atau  rindu dengan situasi rumah pada tengah malam,  dan bersifat fleksibel dan adaptif terhadap perubahan jadual dan situasi, (b) mampu memaksimalkan kekuatan anggota dan meminimalkan konflik sesama anggota, (c) mampu berpikir cepat ketika menghadapi isu tertentu, (d) mampu memanfaatkan segala sumber daya dan  mengembangkan secara kreatif berbagai aktivitas berdasarkan keragaman usia, (e)   melengkapi diri dengan berbagai informasi baru yang dapat  dibagi dengan anggota kelompok, (f) memperkuat keterbukaan dan kepekaan terhadap kebutuhan anggota,  dan (g) mampu mengembangkan lingkungan yang aman dan terbuka sehingga anggota merasa betah. 
Boffey (1993) mengemukakan bahwa dasar untuk keberhasilan camp counseling  adalah; (a) konselor memahami secara akurat bagaimana dan mengapa perilaku manusia sehingga dapat mengembangkan ragam intervensi yang dapat membantu anak menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan efektif, (b) konselor dapat menjelaskan kaitan antara  perilaku yang diharapkan dengan kebutuhan pribadi, (c) mengembangkan iklim kelompok yang bebas dari kritik dan penilaian,  (d) dan mengembangkan perilaku baru anggota  secara  seimbang melalui langkah-langkah;  mengenal apa yang diinginkan, apa yang dilakukan untuk mencapai keingginan, cari pilihan dan buatlah rencana, laksanakan pilihan, dan jangan menyerah.
4. Pendekatan Camp Counselor
Dalam kontek manajemen perilaku, termasuk pengembangan perilaku sosial dan kecerdasan emosional, Grayson (2001) mengemukakan lima pendekatan yang digunakan oleh  camp counselor,  yaitu;  (a) punishment, (b) guilt, (c) the buddy approach, (d) the monitor approach, (e) success counselor. Punishment atau hukum bentuknya seperti marah, menghina, hukuman fisik.  Pushups, berlari, dan berteriak merupakan contoh yang umum bentuk hukuman. Dalam jangka pendek pendekatan hukuman  ini efektif dan mudah diterapkan.  Guilt  bentuknya seperti perilaku diam dari konselor sebagai tanda tidak setuju atau memegang kepala anggota. Guilt dapat lebih efektif dibandingkan punishment karena dapat mencegah perilaku negatif terulang lagi di masa yang akan datang karena metode ini semacam ‘internalized punishment’. Guilt merujuk pada nilai dan norma dan peran konselor adalah menunjukkan kepada anggota kalau perilakunya  berlawanan dengan norma atau nilai tertentu. Guilt tidak mengajarkan bagaimana anggota belajar mengganti perilakunya,  namun belajar menerima perilaku negatif dan bagaimana berperilaku secara berbeda di masa yang akan datang.
The buddy approach, konselor berusaha mengontrol perilaku anggota dengan persahabatan dan humor,  metode ini cocok untuk beberapa level usia. Alasannya adalah anggota akan suka kepada konselor dan tidak ingin mengecewakannya. Dampak negatifnya adalah kurang berkembangnya lokus kendali internal anggota. Konselor dapat menggunakan metode sebagai ‘teaching tools’ yang dapat membantu anak-anak memecahkan masalah dan mengendalikan emosi mereka secara  lebih baik.
The monitor approach, mengunakan logika konsekeunsi yang ditampakkan oleh konselor, misalnya ketika anggota mencoret dinding maka mereka harus membersihkannya kembali. Kendalanya adalah anggota dapat saja menerima konsekuensi,  namun belum tentu menjadi inspirasi bagi mereka untuk melakukan perubahan perilaku secara permanen. The success counselor, internalisasi nilai dan moralitas lebih efektif  melalui lokus kontrol internal. Premis the success counselor adalah ketika pikiran anggota berubah maka akan diikuti dengan perubahan perilaku. Setiap orang menggunakan perilaku untuk memenuhi kebutuhannya. Peran konselor adalah membantu anggota dalam memenuhi kebutuhannya dan pada saat bersamaan memahami juga kebutuhan orang lain. Peran konselor bukan memecahkan masalah anggota,  tetapi memberikan informasi dan dukungan agar anggota mampu mencari solusi sendiri.
5. Pengertian Adventure Therapy
Konsep ‘adventure therapy’ telah ada sejak 30 tahun yang lalu dan belakangan ini kecederungan pertumbuhan dan perkembangan pemikiran  tentang  adventure therapy  makin meningkat. Namun, sampai sekarang masih  banyak  debat tentang ‘adventure therapy’ mulai dari persoalan definisi sampai sertifikasi. Bagaimana AT definisikan berimplikasi terhadap  elemen praktiknya. Menurut Cristian (2001) terdapat paling sedikit tiga cara bagaimana AT didefinisikan, yaitu berdasarkan;  (a) tingkat perubahan atau ‘level of change’, (b) jenjang praktisi atau ‘degree of practitioner’, dan populasi yang dilibatkan atau ‘the population worked with’. Berikut dijelaskan masing-masing pengertiannya.
Berdasarkan tingkat perubahan, AT dapat dipandang sebagai perubahan terarah perilaku, perasaan dan kognisi. Perubahan ini termasuk berkurangnya perilaku negatif yang mengintervensi kehidupan individu dan meningkatkan atau memperkuat kapasitas klien untuk hidup secara utuh melalui  perilaku yang konkrit. Berdasarkan jenjang pendidikan, seseorang yang dapat memberikan layanan AT mesti menyandang gelar master atau lebih dalam satu human service, meskipun belum ada kesepakatan tentang latar belakang disiplin ilmunya (psycholoy, social work, ccounseling, marriege and family therapy). Apresiasi yang lebih jelas adalah terapis pada AT meski memiliki keterampilan dalam bidang ‘adventure persuit dan therapy side’
 Berdasarkan populasi yang dilayani,   definisi AT berdasarkan populasi adalah yang paling sederhana dan diperuntukan bagi klien yang mengalami gangguan klinis. Populasinya adalah klien yang mengalami gangguan DSM-IV atau yang berada di pusat kesehatan mental, di penjara, rumah sakit, klinik, day treatment program atau residential treatment program.  Bentuk aktivitasnya adalah melalui musik, menggunakan binatang, seni, menari, drama, dan holticultural therapy dengan fokus pemberdayaan populasi.
Ketiga definisi AT ini tidak bersifat ‘mutually  exclusive’ dan definisi berdasarkan populasi adalah yang paling longgar sehingga banyak orang berlindung di bawah payung  aktivitas AT. Definisi AT yang komprehensif adalah  ‘dventure work’‘ yang melibatkan individu yang mengalami gangguan klinis, diberikan oleh praktisi bergelar master, dan diarahkan pada perubahan metalevel. Pilihan terhadap definisi berimplikasi terhadap elemen praktik. Jika memilih definisi pertama,  maka  fokus AT adalah memperkuat kapasitas perubahan klien. Jika memilih definisi kedua, maka terkait dengan masalah pengembangan kredensial professional. Jika mengambil definisi ketiga, maka fokusnya adalah ‘broad based arena’ yang kondusif bagi populasi tertentu (Cristian, 2001).
Pertanyaan tentang ‘apakah AT sebuah profesi atau seperangkat teknk dan alat? Adalah pertanyaan yang sering muncul.  Karena AT tidak memiliki ‘single academic entity’ dan  ‘hold single dicipline’ maka tidak dapat dipandang sebagai profesi melainkan seperangkat teknik dan alat yang biasa digunakan oleh berbagai profesi. Dalam jangka panjang, AT diharapkan memiliki disiplin ilmu khusus di luar disiplin ilmu yang ada. Jika AT dapat dipandang sebagai profesi, maka definisi kedua dipandang sangat relevan.
Berkenaan dengan masalah sertifikasi, jka AT dipandang sebagai seperangkat alat yang digunakan oleh berbagai profesi, maka pertanyaanya adalah ‘ bagaimana standar minimum kompetensinya ?. Brdasarkan Therapeutic Adventure Group of the Association for Experiential Learning dan First International Adventure Therapy Conference in Perth Australia pada tahun 2000  disimpulkan bahwa sertifikasi hanyalah penjamin kompetensi minimum dan itu tidak cukup.

6. Aktivitas Adventure Therapy
 Berdasarkan bentuk aktivitas, filosofi petualangan, dan merujuk pada hasil International Adventure Therapy Conferences, AT adalah menggunakan  aktivitas khusus (seperti permainan, inisiatif, membangun rasa saling percaya), petualangan tingkat tinggi (seperti mendaki gunung), dan keliaran alam (seperti kano dan membawa beban). Semua aktivitas ini menitik beratkan  pada eksplorasi aktif terhadap hal-hal yang belum diketahui (unknown), menilai tantangan dinilai sebagai kesempatan,   kelompok merupakan  elemen esensial untuk  keberhasilan individu sekaligus sebagai peluang untuk meningkatkan kinerja anggota. Dalam aktivitasnya,   AT melibatkan melibatkan berbagai  disiplin ilmu dan skema kegiatan yang dikembangan berdasarkan definisi yang menjadi rujukan (Cristian, 2001).
7. Pengertian dan Signifikansi Adventure-Based Counseling
Setiap tahun konselor  sekolah dihadapkan pada situasi yang relatif  sama yaitu kehadiran siswa baru yang dituntut untuk mampu bekerja sama dalam sebuah kelompok. Faktanya, dengan keterbatasan waktu yang ada dan ukuran kelas  konselor sekolah lebih sering bekerja dalam adegan kelompok daripada individual.  Dalam adegan kelompok, konselor mendorong siswa melalui aktivitas ‘cooperative learning’ sehingga anggota dapat berpartisipasi secara bebas.
Menurut  Moote & Wodarsky (dalam Glass, 2001)  experiential technique counseling, seperti adventure-based counseling merupakan aktivitas kelompok yang berfokus  pada pengembangan kerjasama kelompok dan peningkatan keterampilan interpersonal dan harga diri remaja. Hasil penelitian Page & Chandler (Glass, 2001) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan harga diri siswa karena intervensi aktivitas kelompok
Kohesi kelompok merupakan variabel penting untuk proses kelompok (Stockton & Hulse, 1981). Kohesi di dalam kelas dapat terbentuk ketika kelompok diminta untuk bekerjasama dalam berbagai tugas dan ‘adventure based counseling’  merupakan salah satu metode untuk itu. Adventure based counseling menggunakan pendidikan eksperesial dalam adegan outdoor dengan tujuan meningkatkan harga diri, kepercayaan terhadap orang lain, dan perilaku positif siswa (Glass , 2001).
Tujuan program ABC menurut Carson (1999) adalah meningkatkan kemampuan untuk  (a)  percaya diri dan harga diri, (b)   mengelola marah, (c) berperilaku bertanggung jawab, (d) menantang perilaku yang tidak sesuai, (e) menghargai perbedaan inndividu, (f) berkomunikasi  dengan orang lain, (g) memecahkan masalah, (h) percaya pada diri, orang lain dan kelompok, (i) memiliki kematangan sosial, dan (j) berpartisipasi dalam aktivitas fisik.
8. Kawasan Aplikasi Adventure-Based counseling
ABC menjadi sangat populer di sektor publik dan swasta dan telah banyak digunakan untuk rehalibitasi kenakalan, terapi untuk krisis  individu dan keluarga, metode untuk meningkatkan pertumbuhan bagi individu berkebutuhan khusus, dan teknik untuk pembentukan tim di kalangan professional (Haris et al., 1993; Herbert, 1996). ABC menggunakan tugas yang  bersifat nonkompetitif  dan menekankan pada interaksi anggota untuk  saling melengkapi. Aktivitas  nonkompetitif dirancang dengan memasukan unsur tantangan fisik dan mental sehingga keberhasilan tidak dapat dicapai secara perorangan. Oleh karena itu, keterampilan sosial dan kemampuan bekerja sama dalam kelompok merupakan hal yang krusial (Glass , 2001).
Menurut Moote & Woodarski (dalam  Glass & Shoffner, 2001) banyak dari aspek  program konseling komprehensif di sekolah  terkait dengan pendekatan ABC, seperti keterampilan kooperasi, komunikasi, pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan. Melalui program ABC memungkinkan anggota memahami perspektif orang lain  sehingga dapat mengurangi kekerasan dan meningkatkan perilaku prososial.
Meskipun penelitian tentang ABC masih terbatas, namun disimpulkan bahwa ABC berdampak positif terhadap pembukaan diri dan umpan balik interpersonal, dan meningkatkan konsep diri dan keterampilan interpersonal. Tujuan khusus untuk setiap pertisiapan ditetapkan sebelum program dimulai dan tujuan kelompok ditetapkan oleh partisipan dengan menggunakan parameter perilaku yang jelas.
9. Tahap  Penilaian  Adventure-Based Counseling
ABC terdiri dari serangkaian aktivitas atau disebut elemen. Beberapa elemen berfokus pada kemampuan kepemimpinan dan yang lainnya pada keterampilan komunikasi. Elemen yang digunakan dalam program dikembangkan oleh kelompok. Latihan yang biasa digunakan hanya sedikit yang menuntut kemampuan fisik dan lebih banyak pada berbagi tanggung jawab dan pemecahan masalah sebagai sebuah kelompok/ tim.  Keberhasilan pemecahan masalah bergantung pada kerja sama, rasa saling percaya, dan komunikasi anggota kelompok  (Glass & Shoffner, 2001). 
Peran konselor dalam ABC adalah menyusun elemen untuk setiap partisipan dalam bentuk scenario  dan menjelaskan tugas masing-masing  kelompok. Setelah  tugas selesai, baik itu berhasil maupun gagal, maka pemimpin mengambil waktu untuk memproses aktivitas yang telah berlangsung. Kegiatan ini memberikan kesempatan kepada anggota untuk mendiskusikan pengalamannya secara detil, menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari dan menemukan makna dalam ABC (Glass, 2001).
Teknik untuk menilai proses kelompok adalah PARS (Processing: Actvity, Relationships, and Self) model.  Model ini membantu anggota untuk mengidentifikasi dan menguji apa yang terjadi dalam kelompok dan bagaimana reaksi anggota terhadap pengalaman kelompok. Proses model ini melibatkan tahap Reflecting, Understanding, dan Applying (Glass, 2001).
Melalui tahap ‘reflecting’ memungkinkan anggota untuk melacak kembali langkah-langkah satu aktivitas. Selama tahap ini, anggota berbagi persepsi, bersepakat dengan apa yang terjadi, dan mengeksplorasi isu-isu yang berkembang. Reflecting juga memungkinkan anggota untuk menata ulang pengalamannya dengan menuntaskan tugas-tugas kelompok.
Tahap   ‘understanding’ melibatkan upaya pemimpin untuk menemukan tilikan selama proses latihan berlangsung. Tugas utama aggota kelompok adalah mengiidentifikasi, menginvestigasi, dan menganalisis proses kelompok. Kelompok juga dapat belajar bagaimana mana menjadi keseluruhan dan pada saat bersamaan mencapai tujuan individual.
Tahap ‘applying’ anggota ditantang untuk  menerapkan apa-apa yang telah dipelajari dari  kelompok  untuk berhubungan  dengan orang lain dan aktivitas di luar kelompok. Pada tahap ini, anggota dibantu  untuk  mengaplikasikan informasi dari tahap pertama dan kdua ke dalam kehidupan sehari-hari.
Tahap ‘processing’ merupakan periode paling penting dalam proses kelompok. Tanpa pemimpinya yang memenuhi syarat, pengalaman ABC dapat memberikan rasa gembira pada aanggota tetapi miskin nilai terapeutik. Para fasilitator pemulasi sering membuat kesalahan karena terlalu memprioritaskan aktvitas dirinya daripada tahap ‘processing’. Kegiatan ‘processing’ menjadi jembatan antara latihan dengan tilikan. Processing yang efektif melibatkan keterampilan membantu anggota memproses pikiran, perasaan, dan reaksi yang terkait dengan latihan kelompok.
10. Contoh Aktivitas Adventure-Based Counseling
Meskipun konselor sering mendorong perubahan perilaku siswa melalui penugasan pada setiap sesi, namun Nassar-McMillan and Cashwell (dalam (Glass & Shoffner, 2001) menjelaskan bahwa perubahan perilaku dapat diimplementasikan, dipraktekan, dan diproses dalam aktivitas ABC. Meskipun ABC pada dasarnya dikembangkan sebagai program dalam adegan keliaran (wilderness setting) namun dapat diadaptasi untuk berbagai adegan, termasuk sekolah. Sebagai contoh, konselor sekolah mungkin ingin menfasilitasi kelompok dengan fokus hubungan teman sebaya, latihan kepemimpinan, mempertahankan harga diri, pengembangan keterampilan sosial,. Menurut Carlson (1999) komponen program ABC adalah (a) manajemen stress, (b) mengembangkan kepercayaan, (c) pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, (d) klarifikasi nilai, (e) harga diri dan citra diri, dan (f) keterampilan komunikasi.
Berikut contoh kegiatan ABC untuk mengembangkan keterampilan sosial  pada remaja yang dilengkapi dengan bagaimana pemimpin menfasilitas diskusi antara partisipan dan melahirkan pencerahan, dan meningkatkan pertumbuhan anggota kelompok.


Sesi 1 – Moon Ball

Aktivitas ini tepat digunakan untuk sesi pertama konseling kelompok karena bersifat riang, santai, dan tidak menekan. Anggota diminta untuk menjaga bola di udara selama mungkin. Aturannya  setiap anggota tidak boleh memukul bola dua kali dan anggota lain menghitungnya setiap bola dipukul  dengan suara nyaring. Hitungan kembali dimulai dari nol ketika ada anggota yang memukul bola dua kali atau ketika bola jatuh ke tanah.  Setelah beberapa saat, kelompok memutuskan tujuan yang ingin dicapai, strategi, dan kesiapan anggota. Tujuan kegiatan ini adalah membantu anggota bekerja sama  menetapkan dan mencapai tujuan. Ketika anggota kesulitan mencapai tujuan atau bekerja sama, maka kegiatan dihentikan dan dilanjutkan dengan diskusi masalahnya. Pertanyaan yang dimunculkan dapat membantu anggota mencari solusi kreatif.

Sesi 2 - Group Juggling

Aktivitas ini tepat untuk individu yang potensial mengalami kekecewaan pribadi. Caranya, anggota berdiri dalam sebuah lingkaran dan melemparkan  keranjang kepada anggota secara estafet dengan menyebutkan  nama anggota yang dituju.  Aktivitas ini bertujuan untuk melatih anggota pentingnya mendengar  orang lain. Diskusi membahasa tentang pentingnya peran masing-masing anggota dalam proses kelompok.

Sesi 3 - Circle the Circle

Aktivitas menuntut anggota untuk dekat secara fisik. Anggota berdiri dalam lingkaran dengan berpegangan tangan. Tangan peserta ditempatkan dalam dua hula hoops. Objek berusaha melewati hula hoops dalam arah  yang berlawan disekitar lingkaran dan  tanggan anggota tetap berpegangan untuk mencegah objek masuk. Di sini  partisipan menggunakan keterampilan goal setting, belajar berbagi wilayah pribadi dengan orang lain, dan menggunakan dorongan untuk mencapai keberhasilan mengatasi tantangan.

Sesi 4 – TP Shuffle

Partisipan  berdiri secara acak dalam sebuah lingkaran kecil  yang telah ditandai dengan pita. Pemimpin meminta anggota untuk menyebutkan tanggal lahir atau tinggi badan masing-masing. Kemudian anggota diminta membuat lingkaran  sesuai dengan urutan tanggal lahir  atau berat badan.  Kemungkinan yang terjadi adalah anggota kehilangan keseimbangan dan jatuh ke lantai. Oleh karena itu, anggota didorong untuk saling berpegangan atau berbagi tempat dengan anggota. Forum ini cocok untuk berdiskusi tentang dukungan versus kritik, mengembangkan rasa kebersamaan, dan keberhasilan yang dapat diterima oleh kelompok.

Sesi 5 – Shipwreck

Aktivitasnya berbentuk kegiatan untuk menempatkan anggota berbentuk piramida sebanyak mungkin dalam sebuah peta dalam jangka waktu lima detik,  dengan ketentuan kaki harus menyentuh lantai dan tidak dibenarkan mendorong  anggota keluar.  Latihan ini untuk mengenalkan nilai-nilai rasa aman dan saling menjaga satu sama lain.

Sesi 6 – Wrap-Up

Membantu anggota mentransformasikan pengalaman kelompok dalam kehidupan sehari-hari merupakan ini dari kegiatan ini. Anggota didorong untuk  mencari nilai-nilai pengalaman kelompok, kekuatan kelompok dan diri.

C. PASCAWACANA

Kegiatan kemping memberikan kesempatan kepada peserta untuk melakukan improvisasi diri, mengembangkan kekuatan fisik, mental, sosial, dan spritual. Secara sosiologis, kemping merupakan media untuk meningkatkan rasa kebersamaan dan kekeluargaan. Kegiatan  ‘school camps’ yang berbeda dari kemping pada umumnya dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan hidup siswa.
Untuk menjadi seorang camp counselor diperlukan pemahaman yang mendalam tentang  dinamika  perkembangan individu. Kualitas kepribadian yang perlu dimiliki adalah sanggup bekerja dalam tekanan, bersikap fleksibel dan adaptif terhadap perubahan situasi, mengambil keputusan secara cepat, kreatif dalam memanfaatkan sumber daya yang ada dalam lingkungan untuk aktivitas kemping, memiliki keterbukaan dan kepekaan terhadap kebutuhan individu, dan mengembangkan lingkungan kemping yang aman dan terbuka.
Konsep adventure therapy telah berkembangan pesat sejak 30 tahun yang lalu. Meskipun masih banyak depat tentang adventure therapy, mulai dari persoalan definisi sampai sertifikasi, namun sebagai seperangkat teknik atau alat keberadaanya perlu diakomodasi oleh profesi bimbingan dan konseling. Bukti empirik yang dapat disodorkan adalah bahwa adventure therapy dapat mengurangi perilaku negatif dan memperkuat kapasitas individu untuk hidup secara utuh melalui perilaku yang konkrit.
Adventure-Based Counseling merupakan metode yang bermanfaat bagi konselor sekolah. ABC merupakan cara efektif untuk membangun harga diri, kohesi kelompok, rasa percaya pada orang lain, belajar teknik pemecahan masalah, dan mengembangkan keterampilan komunikasi.  Lieberman & Devos ( dalam Glass & Shoffner, 2001) mengungkapkan bahwa ABC dapat meningkatkan konsep diri, mengurangi kecemasan, dan meningkatkan sikap positif terhadap sekolah.
ABC dapat diadaptasi oleh sekolah untuk membantu anggota mengembang keterampilan pemecahan masalah, kepemimpinan,  dan mendengarkan dengan biaya yang murah karena  formatnya  tidak mesti dalam bentuk outdoor setting. Selain itu, konselor perlu memahami berbagai teknik dan latihan yang ada.
Pendekatan ABC dapat dipandangan sebagai awal pengalaman kelompok, melalui ABC anggota mengembangkan kebersamaan kelompok dan bagaimana bekerja sama dengan orang lain. Konselor sekolah dapat menggunakan ABC untuk menfasilitasi pertumbuhan kelompok.

D.  DAFTAR PUSTAKA

Ahman. (1995). Profesionalisasi Bimbingan Konseling dan Kode Etik. Jurnal Bimbingan No. 1 Oktober-Desember 1995. Bandung: Lab. Jurusan PPB FIP IKIP Bandung.

Daniel M. Boffey. (1993). Success Counseling: Technique for Camp Counselor (on line). Tersedia di http://www. findarticles. com.

Kelly Hoel. (2001). Camp Couselors Gain Real-World Experience (online). Tersedia di http://www. findarticles. com.

Randall Grayson. (2001). Successful Counseling: Camp Counselor Tips (online). Tersedia di http://www. findarticles. com.

Cristian. (2001). Adventure Therapy: Critical Question (online). Tersedia di http://www. findarticles. com.
Scoot Glass. (2001). Adventure-Based Counseling in School (online). Tersedia di http://www. findarticles. com.

Carlson. (1999). Adventure-Based Counseling (ABC Program) (online). Tersedia di http://www. findarticles. com.


Mitchell, Meier. (1983). Camp Counseling. Philadelphia: Saunders College Publishing. 
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Adventure Based Counseling"

Post a Comment

Copyright 2009 Pelangi Rizqi
Free WordPress Themes designed by EZwpthemes
Converted by Theme Craft
Powered by Blogger Templates